Liputan6.com, Jakarta - Uji coba NASA mencari tahu keberadaan kehidupan di planet Mars belum berhenti. Kali ini, untuk pertama kalinya pesawat ruang angkasa NASA yang sedang mengorbit di planet merah tersebut rupanya mendapatkan deteksi adanya unsur cadangan kaca yang berada di dalam kawah planet Mars.
Pun demikian, masih belum bisa dipastikan apakah kaca tersebut merupakan unsur senyawa yang tumbuh di ekosistem planet Mars atau pun tidak.
Namun, yang bisa dipastikan dengan ditemukannya cadangan kaca tersebut adalah bisa saja hal ini menunjukkan tanda kehidupan makhluk hidup di Mars pada masa lalu.
Laman Mashable melansir bahwa para peneliti NASA berasumsi unsur cadangan kaca yang `tumbuh` di planet Mars tersebut bisa saja disebabkan oleh hantaman objek bernama`impactor` (sejenis meteroid, asteroid atau komet) ketika menabrak planet Mars.
Secara ilmu fisika, para ilmuwan berspekulasi bahwa impactor setelah menghantam Mars akan memanaskan tanah di planet tersebut, dan mengubah bagian permukaan tanah menjadi kaca.
Dengan menggunakan Mars Reconnaissance Orbiter (NRO) milik NASA, para ilmuwan mampu melihat kaca secara jelas di permukaan planet Mars. Bahkan, studi unsur kaca yang ada di planet Mars ini telah terbit di sebuah jurnal Geology.
Sebelumnya, para peneliti mampu mempelajari kehidupan masa lalu Bumi dengan mempelajari cadangan kaca yang tersisa dari tumbukan bangunan. Hal ini dapat mempermudah mereka mencari tahu apakah memang benar bahwa Mars memiliki `kehidupan` di masa lampau.
"Analisis peneliti menunjukkan bahwa cadangan kaca adalah fitur benturan yang bisa dibilang relatif umum di Mars," kata Jim Green, direktur divisi ilmu planet NASA, "Daerah ini bisa menjadi target untuk eksplorasi pada masa depan saat penjelajah ilmiah robotik kami membuka jalan untuk perjalanan ke Mars dengan manusia pada 2030-an."
Manusia Tak Cukup Cerdas untuk Bertemu Makhluk Luar Angkasa?
Sebuah studi
menunjukkan bahwa manusia tidak cukup cerdas dan terlalu dipengaruhi
agama, untuk dapat menghadapi kontak dengan makhluk luar angkasa.
15.05.2014
Apakah kita sendirian di alam semesta yang maha luas ini? Adakah bentuk kehidupan dan peradaban di luar sana untuk ditemukan?
Apakah kita siap untuk pertemuan itu?
Jawabannya adalah tidak, menurut sebuah studi baru yang dilakukan oleh seorang psikolog khusus syaraf asal Spanyol, yang menemukan bahwa manusia tidak cukup cerdas dan terlalu dipengaruhi agama, untuk dapat menghadapi kontak semacam itu.
Studi tersebut, yang diterbitkan dalam Acta Astronautica, dilakukan oleh Gabriel G. de la Torre, seorang profesor Departemen Psikologi di University of Cádiz di Spanyol, yang juga bekerja dalam proyek-proyek untuk Badan Antariksa Eropa dan Yayasan Sains Eropa.
Untuk studinya, de la Torre menganalisa implikasi-implikasi sosiologis dan etis dari kemungkinan interaksi manusia-makhluk luar angkasa (ET).
"Dapatkah keputusan itu diambil atas nama seluruh planet? Apa yang akan terjadi jika hal itu berhasil dan seseorang menerima sinyal kita? Apakah kita siap untuk kontak semacam ini?" de la Torre bertanya-tanya.
Untuk mendapatkan jawaban-jawaban atas pertanyannya, de La Torre mengirimkan daftar pertanyaan kepada 116 mahasiswa/i di Amerika, Italia dan Spanyol. Survei itu dirancang untuk mempelajari pengetahuan astronomi responden, tingkat persepsi mereka mengenai lingkungan fisik, opini mereka mengenai tempat yang dihuni di alam semesta, kemungkinan kontak dengan makhluk ekstraterestrial maupun pertanyaan religius seperti "Apakah Anda percaya Tuhan menciptakan semesta?"
Jawaban-jawaban mereka mengindikasikan bahwa pengetahuan publik secara umum mengenai alam semesta dan posisi manusia di dalamnya, bahkan di tingkat universitas, masih buruk.
"Terkait hubungan kita dengan kemungkinan kehidupan ekstrateresterial, kita seharusnya tidak bergantung pada cara berfikir dengan referensi moral, karena sangat dipengaruhi agama," ujar de la Torre.
"Mengapa makhluk-makhluk yang lebih intelijen harus 'baik'?" tambahnya.
Rasa penasaran de la Torre mengenai kemungkinan pertemuan manusia dan ET memuncak akibat proyek yang saat ini sedang dipertimbangkan oleh Search for Extraterrestrial Intelligence Institute (SETI) di California.
Proyek SETI ini mulai pada akhir 1960an dan awal 1970an dengan sebuah misi untuk memburu sinyal-sinyal yang dipancarkan oleh intelijen ekstraterestrial.
Dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa pihak di SETI yang tidak hanya ingin mendengar sinyal dari makhluk luar angkasa, namun juga mengirim pesan pada mereka secara rutin. Proyek yang diusulkan itu disebut ‘Active SETI’, juga diketahui sebagai METI (Pengiriman Pesan pada Intelijen Ekstra Terestrial).
Sejak 1974, sejumlah pesan spesifik dari Bumi telah dipancarkan ke wilayah-wilayah target di alam semesta dengan harapan ada makhluk luar angkasa yang akan menerimanya dan menyadari bahwa manusia juga ada di sini.
Ahli fisika teoretis dan kosmologi terkenal, Stephen Hawking, telah meningkatkan kekhawatiran mengenai pengiriman pesan-pesan ke wilayah-wilayah yang berjarak tahunan cahaya dari Bumi.
Pada sebuah film dokumenter 2010, Hawking mengatakan berkomunikasi dengan makhluk luar angkasa dapat memberi ancaman pada Bumi.
Hawking membandingkan pertemuan manusia dengan makhluk angkasa luar dengan peristiwa lebih dari 500 tahun lalu antara Christopher Columbus dan suku asli di Dunia Baru.
"Jika makhluk luar angkasa mengunjungi kita, hasilnya akan seperti ketika Columbus mendarat di Amerika, yang tidak berakhir baik bagi suku asli Amerika," ujar Hawking. "Kita harus berhati-hati untuk melihat bagaimana kehidupan intelijen mungkin berkembang menjadi sesuatu yang tidak ingin kita hadapi."
Namun astronom senior SETI melihatnya dengan sudut pandang yang berbeda.
"Kita dapat menyatakan bahwa sebuah budaya yang dapat memproyeksikan kekuatan ke sistem bintang lain setidaknya lebih maju beberapa abad dari kita," ujar Seth Shostak dalam artikel yang ia tulis untuk majalah The Edge.
"Pernyataan ini terpisah dari apakah Anda percaya makhluk secanggih itu akan tertarik berbuat onar dan kerusakan. Kita hanya berbicara mengenai kemampuan, bukan motivasi."
Peneliti de la Torre tidak percaya sejumlah ilmuwan harus memonopoli debat mengenai subyek ini.
"Malah, ini adalah isu global dengan komponen etis yang kuat yang membutuhkan partisipasi semua orang," ujarnya. (VOA)
Apakah kita siap untuk pertemuan itu?
Jawabannya adalah tidak, menurut sebuah studi baru yang dilakukan oleh seorang psikolog khusus syaraf asal Spanyol, yang menemukan bahwa manusia tidak cukup cerdas dan terlalu dipengaruhi agama, untuk dapat menghadapi kontak semacam itu.
Studi tersebut, yang diterbitkan dalam Acta Astronautica, dilakukan oleh Gabriel G. de la Torre, seorang profesor Departemen Psikologi di University of Cádiz di Spanyol, yang juga bekerja dalam proyek-proyek untuk Badan Antariksa Eropa dan Yayasan Sains Eropa.
Untuk studinya, de la Torre menganalisa implikasi-implikasi sosiologis dan etis dari kemungkinan interaksi manusia-makhluk luar angkasa (ET).
"Dapatkah keputusan itu diambil atas nama seluruh planet? Apa yang akan terjadi jika hal itu berhasil dan seseorang menerima sinyal kita? Apakah kita siap untuk kontak semacam ini?" de la Torre bertanya-tanya.
Untuk mendapatkan jawaban-jawaban atas pertanyannya, de La Torre mengirimkan daftar pertanyaan kepada 116 mahasiswa/i di Amerika, Italia dan Spanyol. Survei itu dirancang untuk mempelajari pengetahuan astronomi responden, tingkat persepsi mereka mengenai lingkungan fisik, opini mereka mengenai tempat yang dihuni di alam semesta, kemungkinan kontak dengan makhluk ekstraterestrial maupun pertanyaan religius seperti "Apakah Anda percaya Tuhan menciptakan semesta?"
Jawaban-jawaban mereka mengindikasikan bahwa pengetahuan publik secara umum mengenai alam semesta dan posisi manusia di dalamnya, bahkan di tingkat universitas, masih buruk.
"Terkait hubungan kita dengan kemungkinan kehidupan ekstrateresterial, kita seharusnya tidak bergantung pada cara berfikir dengan referensi moral, karena sangat dipengaruhi agama," ujar de la Torre.
"Mengapa makhluk-makhluk yang lebih intelijen harus 'baik'?" tambahnya.
Rasa penasaran de la Torre mengenai kemungkinan pertemuan manusia dan ET memuncak akibat proyek yang saat ini sedang dipertimbangkan oleh Search for Extraterrestrial Intelligence Institute (SETI) di California.
Proyek SETI ini mulai pada akhir 1960an dan awal 1970an dengan sebuah misi untuk memburu sinyal-sinyal yang dipancarkan oleh intelijen ekstraterestrial.
Dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa pihak di SETI yang tidak hanya ingin mendengar sinyal dari makhluk luar angkasa, namun juga mengirim pesan pada mereka secara rutin. Proyek yang diusulkan itu disebut ‘Active SETI’, juga diketahui sebagai METI (Pengiriman Pesan pada Intelijen Ekstra Terestrial).
Sejak 1974, sejumlah pesan spesifik dari Bumi telah dipancarkan ke wilayah-wilayah target di alam semesta dengan harapan ada makhluk luar angkasa yang akan menerimanya dan menyadari bahwa manusia juga ada di sini.
Ahli fisika teoretis dan kosmologi terkenal, Stephen Hawking, telah meningkatkan kekhawatiran mengenai pengiriman pesan-pesan ke wilayah-wilayah yang berjarak tahunan cahaya dari Bumi.
Pada sebuah film dokumenter 2010, Hawking mengatakan berkomunikasi dengan makhluk luar angkasa dapat memberi ancaman pada Bumi.
Hawking membandingkan pertemuan manusia dengan makhluk angkasa luar dengan peristiwa lebih dari 500 tahun lalu antara Christopher Columbus dan suku asli di Dunia Baru.
"Jika makhluk luar angkasa mengunjungi kita, hasilnya akan seperti ketika Columbus mendarat di Amerika, yang tidak berakhir baik bagi suku asli Amerika," ujar Hawking. "Kita harus berhati-hati untuk melihat bagaimana kehidupan intelijen mungkin berkembang menjadi sesuatu yang tidak ingin kita hadapi."
Namun astronom senior SETI melihatnya dengan sudut pandang yang berbeda.
"Kita dapat menyatakan bahwa sebuah budaya yang dapat memproyeksikan kekuatan ke sistem bintang lain setidaknya lebih maju beberapa abad dari kita," ujar Seth Shostak dalam artikel yang ia tulis untuk majalah The Edge.
"Pernyataan ini terpisah dari apakah Anda percaya makhluk secanggih itu akan tertarik berbuat onar dan kerusakan. Kita hanya berbicara mengenai kemampuan, bukan motivasi."
Peneliti de la Torre tidak percaya sejumlah ilmuwan harus memonopoli debat mengenai subyek ini.
"Malah, ini adalah isu global dengan komponen etis yang kuat yang membutuhkan partisipasi semua orang," ujarnya. (VOA)
Planet Baru Seukuran Bumi Ditemukan
lanet yang baru ditemukan tampak bisa menampung kehidupan, menurut sekelompok astronom internasional.
18.04.2014
Tidak terlalu besar, tidak terlalu kecil, tidak terlalu panas dan
tidak terlalu dingin. Sebuah planet yang baru ditemukan tampaknya pas
untuk menampung kehidupan, menurut sekelompok astronom internasional.
Mengorbiti sebuah bintang yang berjarak sekitar 500 tahun cahaya dari Bumi, planet yang disebut Kepler-186f itu berukuran mirip dengan Bumi. Ia mengorbiti bintang pada jarak yang tepat untuk air di permukaan, yang penting untuk kehidupan.
Namun planet itu tidak serupa dengan Bumi, menurut ilmuwan keplanetan NASA Elisa Quintana.
"Lebih kepada sepupu Bumi, bukan kembaran Bumi. Karakteristiknya sama, namun bintang induknya sangat berbeda," ujarnya.
Kepler-186f mengorbiti bintang yang lebih kecil dan lebih dingin daripada matahari kita.
Namun, dalam tulisan pada jurnal Science, para astronom mengatakan planet tersebut tampak relatif lebih dekat dibandingkan dengan sebagian besar ratusan planet yang telah ditemukan selama ini.
Beberapa adalah planet raksasa berselimut gas dengan atmosfer yang tebal, sementara yang lainnya mengorbit terlalu dekat dengan bintang mereka dan terlalu panas untuk kehidupan.
Dua planet yang ditemukan tahun lalu ada pada orbit yang tepat dan dapat menjadi kandidat-kandidat bagus bagi kehidupan, ujar Quintana, namun ukurannya lebih besar daripada Bumi.
"Untuk pertama kalinya, kita dapat mengatakan bahwa kita sekarang memiliki planet yang berukuran sama dengan Bumi dan mengorbit dalam zona bintang yang dapat ditinggali," ujarnya.
Langkah berikutnya adalah untuk mencari jejak-jejak kehidupan di atmosfer-atmosfer dunia yang jauh ini. Hal ini memerlukan teleskop antariksa yang lebih canggih. Namun pengurangan anggaran mengancam misi tersebut.
Meski demikian, Quintana yakin saat teleskop generasi mendatang dapat diluncurkan, manusia akan menemukan bahwa mereka tidak sendiri di alam semesta ini.
Mengorbiti sebuah bintang yang berjarak sekitar 500 tahun cahaya dari Bumi, planet yang disebut Kepler-186f itu berukuran mirip dengan Bumi. Ia mengorbiti bintang pada jarak yang tepat untuk air di permukaan, yang penting untuk kehidupan.
Namun planet itu tidak serupa dengan Bumi, menurut ilmuwan keplanetan NASA Elisa Quintana.
"Lebih kepada sepupu Bumi, bukan kembaran Bumi. Karakteristiknya sama, namun bintang induknya sangat berbeda," ujarnya.
Kepler-186f mengorbiti bintang yang lebih kecil dan lebih dingin daripada matahari kita.
Namun, dalam tulisan pada jurnal Science, para astronom mengatakan planet tersebut tampak relatif lebih dekat dibandingkan dengan sebagian besar ratusan planet yang telah ditemukan selama ini.
Beberapa adalah planet raksasa berselimut gas dengan atmosfer yang tebal, sementara yang lainnya mengorbit terlalu dekat dengan bintang mereka dan terlalu panas untuk kehidupan.
Dua planet yang ditemukan tahun lalu ada pada orbit yang tepat dan dapat menjadi kandidat-kandidat bagus bagi kehidupan, ujar Quintana, namun ukurannya lebih besar daripada Bumi.
"Untuk pertama kalinya, kita dapat mengatakan bahwa kita sekarang memiliki planet yang berukuran sama dengan Bumi dan mengorbit dalam zona bintang yang dapat ditinggali," ujarnya.
Langkah berikutnya adalah untuk mencari jejak-jejak kehidupan di atmosfer-atmosfer dunia yang jauh ini. Hal ini memerlukan teleskop antariksa yang lebih canggih. Namun pengurangan anggaran mengancam misi tersebut.
Meski demikian, Quintana yakin saat teleskop generasi mendatang dapat diluncurkan, manusia akan menemukan bahwa mereka tidak sendiri di alam semesta ini.
Lautan di Bawah Permukaan Es Ditemukan di Bulan Enceladus, Saturnus
04.04.2014
CAPE CANAVERAL— Peneliti Italia dan
Amerika menemukan lautan tersebut menggunakan Cassini, pesawat luar
angkasa NASA-Eropa yang masih mengarungi Saturnus dan cincinnya 17 tahun
setelah diluncurkan dari Cape Canaveral. Penemuan mereka diumumkan hari
Kamis.
Lautan baru berisi air ini, yang ukurannya sebesar atau lebih besar dari Lake Superior di Amerika Utara, berada di tengah kutub selatan Enceladus dan kemungkinan menutupi sebagian besar, atau seluruh permukaan bulan tersebut. Enceladus luasnya sekitar 310 mil.
Data tersebut tidak menunjukkan apakah lautan itu mencapai kutub utara, kata ketua peneliti, Luciano Iess dari Sapienza University, Roma. Lautan tersebut paling tidak adalah lautan regional yang berada di bawah es sedalam 25 mil. Di bumi, lautan tersebut terbentang paling tidak dari Kutub Selatan ke New Zealand.
Peralatan dasar Cassini juga tidak bisa menentukan apakah lautan yang berada di bulan tersebut menyokong kehidupan. Dibutuhkan misi lain dengan menggunakan peralatan lebih canggih untuk melakukan penelitian tersebut.
Penemuan terbaru ini membuat bagian dalam Enceladus “tempat dengan potensi sangat tinggi untuk mencari bentuk kehidupan,” kata ilmuwan planet dari Cornell University, Jonathan Lunine, yang ikut dalam penelitian tersebut.
Pada tahun 2005, Cassini mendeteksi semburan yang keluar dari celah di wilayah kutub selatan. Para peneliti menduga pancaran uap dan es air asin ini, yang mengandung molekul organik ringan seperti methane, mungkin berasal dari lautan di bawah permukaan. Pada hari Kamis, mereka mengkonfirmasi keberadaan lautan ini. Penemuan ini muncul di jurnal Science.
Cassini telah terbang mengelilingi Encelandus selama tiga kali dari tahun 2010 sampai 2012. Data Doppler mencatat bahan padat di bawah permukaan kutub selatan, yang diduga cairan.
Lautan ini diyakini diapit oleh lapisan es dan inti bebatuan.
“Luar biasa melihat apa yang dilakukan oleh Cassini untuk bulan kecil ini,” David Stevenson dari California Institute of Technology, anggota tim peneliti mengatakan pada wartawan minggu ini. Tapi “ini tidak seperti memetakan permukaan bumi atau memetakan permukaan bulan, tidak seperti itu. Jauh lebih sulit, dan kenyataan bahwa kita bisa memetakan sejauh ini adalah hal yang luar biasa.”
Enceladus bukan satu-satunya bulan di sistem tata surya dengan lautan di bawah permukaan.
Titan, bulan terbesar Saturnus, dipercaya mempunyai lautan global. Bukti-bukti menunjukkan hal yang serupa seperti apa yang ditemukan di bulan-bulan raksasa Jupiter, Callisto dan Ganymede. Dan bulan Jupiter, Europa juga menyembunyikan sumber air serupa seperti yang ditemukan di Enceladus, lengkap dengan semburan dan dasar yang dasar bebatuan.
Cassini, yang telah melampaui masa hidup yang diharapkan, masih harus mengeksplorasi Enceladus tiga kali lagi sebelum misi berakhir pada tahun 2017.
Lautan baru berisi air ini, yang ukurannya sebesar atau lebih besar dari Lake Superior di Amerika Utara, berada di tengah kutub selatan Enceladus dan kemungkinan menutupi sebagian besar, atau seluruh permukaan bulan tersebut. Enceladus luasnya sekitar 310 mil.
Data tersebut tidak menunjukkan apakah lautan itu mencapai kutub utara, kata ketua peneliti, Luciano Iess dari Sapienza University, Roma. Lautan tersebut paling tidak adalah lautan regional yang berada di bawah es sedalam 25 mil. Di bumi, lautan tersebut terbentang paling tidak dari Kutub Selatan ke New Zealand.
Peralatan dasar Cassini juga tidak bisa menentukan apakah lautan yang berada di bulan tersebut menyokong kehidupan. Dibutuhkan misi lain dengan menggunakan peralatan lebih canggih untuk melakukan penelitian tersebut.
Penemuan terbaru ini membuat bagian dalam Enceladus “tempat dengan potensi sangat tinggi untuk mencari bentuk kehidupan,” kata ilmuwan planet dari Cornell University, Jonathan Lunine, yang ikut dalam penelitian tersebut.
Pada tahun 2005, Cassini mendeteksi semburan yang keluar dari celah di wilayah kutub selatan. Para peneliti menduga pancaran uap dan es air asin ini, yang mengandung molekul organik ringan seperti methane, mungkin berasal dari lautan di bawah permukaan. Pada hari Kamis, mereka mengkonfirmasi keberadaan lautan ini. Penemuan ini muncul di jurnal Science.
Cassini telah terbang mengelilingi Encelandus selama tiga kali dari tahun 2010 sampai 2012. Data Doppler mencatat bahan padat di bawah permukaan kutub selatan, yang diduga cairan.
Lautan ini diyakini diapit oleh lapisan es dan inti bebatuan.
“Luar biasa melihat apa yang dilakukan oleh Cassini untuk bulan kecil ini,” David Stevenson dari California Institute of Technology, anggota tim peneliti mengatakan pada wartawan minggu ini. Tapi “ini tidak seperti memetakan permukaan bumi atau memetakan permukaan bulan, tidak seperti itu. Jauh lebih sulit, dan kenyataan bahwa kita bisa memetakan sejauh ini adalah hal yang luar biasa.”
Enceladus bukan satu-satunya bulan di sistem tata surya dengan lautan di bawah permukaan.
Titan, bulan terbesar Saturnus, dipercaya mempunyai lautan global. Bukti-bukti menunjukkan hal yang serupa seperti apa yang ditemukan di bulan-bulan raksasa Jupiter, Callisto dan Ganymede. Dan bulan Jupiter, Europa juga menyembunyikan sumber air serupa seperti yang ditemukan di Enceladus, lengkap dengan semburan dan dasar yang dasar bebatuan.
Cassini, yang telah melampaui masa hidup yang diharapkan, masih harus mengeksplorasi Enceladus tiga kali lagi sebelum misi berakhir pada tahun 2017.
NASA Umumkan Penemuan 715 Planet Baru
Badan antariksa Amerika, NASA, mengumumkan hari Rabu (26/2) ditemukannya 715 planet baru di luar tata-surya.
27.02.2014
Dengan menggunakan alat pencari planet teleskop Kepler, para ilmuwan
mengatakan penemuan planet baru ini menambah jumlah planet yang sudah
diketahui, menjadi kira-kira 1.700 planet.
Mereka mengatakan semua planet baru itu dalam sistem seperti tata surya kita, dimana planet itu mengorbit satu bintang yang besar.
Para ilmuwan tersebut mengatakan sedikitnya empat dari planet yang baru ditemukan itu kemungkinan berada dalam apa yang disebut zona yang dapat dihuni, yang berarti tidak terlalu panas atau terlalu dingin untuk air.
Tetapi, para ilmuwan mengatakan mereka hampir tidak mengetahui apa-apa mengenai planet-planet baru itu dan tidak dapat mengatakan apakah planet itu dapat mendukung kehidupan.
Mereka mengatakan semua planet baru itu dalam sistem seperti tata surya kita, dimana planet itu mengorbit satu bintang yang besar.
Para ilmuwan tersebut mengatakan sedikitnya empat dari planet yang baru ditemukan itu kemungkinan berada dalam apa yang disebut zona yang dapat dihuni, yang berarti tidak terlalu panas atau terlalu dingin untuk air.
Tetapi, para ilmuwan mengatakan mereka hampir tidak mengetahui apa-apa mengenai planet-planet baru itu dan tidak dapat mengatakan apakah planet itu dapat mendukung kehidupan.
0 komentar:
Posting Komentar